Sabtu, 11 Juni 2011

Pro-Kontra Transgenik


Kontroversi tentang benih dan produk tanaman hasil rekayasa bioteknologi (transgenik) tak kunjung reda. Pro-kontra terus berlangsung. Bahkan, seiring perkembangan transgenik yang terus melaju pasti, pro-kontra ini semakin seru. Kedua belah pihak terus bersikukuh pada teori maupun fakta dan argumentasi masing-masing. Titik temu pandangan kedua pihak, sejauh ini, sama sekali belum terlihat.Bagi pihak yang bersikap pro, transgenik adalah terobosan meyakinkan yang memungkinkan budidaya tanaman lebih efisien, murah, produktif, serta menghasilkan produk yang kualitatif jauh lebih baik. Sementara kelompok yang bersikap kontra, dengan nada yang kerap tendensius dan lebih berpijak pada asumsi ketimbang fakta, berpendirian bahwa transgenik potensial melahirkan masalah serius menyangkut keseimbangan lingkungan maupun kesehatan manusia.Di Indonesia sendiri, kontroversi tentang transgenik ini tak terkecuali berlangsung ramai. Seperti juga di tingkat internasional, perdebatan seru dan melelahkan ini belum terlihat menuju titik akhir. Boleh jadi, kontroversi ini memang tak akan pernah berakhir.Justru itu, menjadi pertanyaan menggelitik: bagaimanakah kita -- terutama kalangan pengambil kebijakan -- harus bersikap terhadap transgenik ini? Haruskah kita malah ikut larut dalam perdebatan tiada akhir? Padahal perkembangan transgenik sendiri, seolah tak hirau oleh kontroversi yang terus berlangsung, kian melaju kencang menawarkan terobosan-terobosan menakjubkan di bidang pertanian secara umum.Kenyataan itu sungguh mengusik, karena kita berhadapan dengan problem pembangunan pertanian dalam arti luas yang sungguh merisaukan. Untuk sejumlah komoditas, produksi pertanian kita bahkan belum mampu memenuhi kebutuhan di dalam negeri. Selebihnya, secara keseluruhan, daya saing produk-produk pertanian kita tampaknya belum bisa diandalkan mampu bersaing dalam era perdagangan bebas yang tak lama lagi menjelang.Jadi, sekali lagi, bagimanakah kita harus bersikap terhadap perkembangan dan manfaat transgenik yang terus disaput pro-kontra ini?Sebagai produk yang menawarkan terobosan kuantitatif maupun kualitatif di bidang pertanian dalam arti luas, transgenik memang sangat menakjubkan. Tak terkecuali bagi badan-badan dunia yang bertali-temali dengan masalah kependudukan, kesehatan, atau masalah pangan. Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) ataupun Organisasi Pangan dan Pertanian Dunia (FAO), misalnya, bahkan tegas-tegas mendukung penerapan dan pengembangan transgenik ini.Sikap itu tak sulit dipahami. Maklum, karena bagi lembaga semacam FAO, kondisi obyektif dunia di bidang pangan saat ini sungguh mengkhawatirkan. Itu terkait dengan laju pertumbuhan penduduk yang terus melaju kencang dan menuntut ketersediaan pangan.Menurut perkiraan PBB, penduduk dunia dewasa ini mencapai sekitar 6 miliar jiwa. Itu dua kali lipat dibanding kondisi 50 tahun silam. Lalu, dalam tempo setengah abad mendatang, jumlah penduduk dunia ini diperkirakan berlipat menjadi sekitar 9 miliar jiwa.Itu berarti, produksi pangan harus meningkat pula dan mesti mampu mencukup kebutuhan konsumsi. Untuk itu, jika berpijak pada teknologi konvensional, luas lahan pertanian jelas harus terus ditambah.Tapi, soalnya, lahan bagi budidaya pertanian kian hari kian terbatas. Karena desakan kebutuhan ruang bagi kepentingan pemukiman dan industri, areal baru pertanian semakin cenderung sulit dihamparkan. Bahkan areal pertanian produktif yang sudah tergelar pun tak jarang tergerogoti oleh pembangunan perumahan dan industri.Dalam situasi seperti itu, transgenik serta-merta terasa menjadi solusi. Tanaman transgenik mampu meningkatkan hasil panen berkali lipat tanpa harus menambah areal tanaman. Hasil panen tanaman kapas transgenik yang mulai dikembangkan secara terbatas di tujuh kebupaten di Sulsel, misalnya, rata-rata mencapai 1 ton hingga 1,5 ton kapas per hektar. Sementara kapas varietas lokal, Kanesia, hanya menghasilkan 700-an kilogram per hektar.Bagi Indonesia, kenyataan itu menunjukkan bahwa pengembangan kapas transgenik bisa menjadi alternatif strategis guna memacu produksi kapas dalam negeri. Ini sungguh relevan karena dalam rangka menekan impor kapas yang sangat dibutuhkan industri tekstil di dalam negeri. Impor kapas ini mencapai sekitar 98 persen kebutuhan bahan baku industri tekstil. Sementara produksi kapas di dalam negeri sendiri baru sekitar 1 persen.Kenyataan itu makin terasa riskan, karena kebutuhan industri tekstil akan bahan baku kapas ini cenderung semakin meningkat. Pada 1990, misalnya, kebutuhan tersebut baru sekitar 347 ribu metrik ton. Tapi pada 1999, angka itu naik menjadi 410,6 ribu metrik ton. Bahkan pada 1995 mencapai 484 ribu metrik ton.Di tengah kecenderungan itu, produksi kapas dalam negeri sendiri justru cenderung menurun dari 11,5 ribu metrik ton pada 1990 menjadi 4,9 ribu metrik ton 1999. Karena itu pula, impor kapas terus meningkat dari 334,3 ribu metrik ton 1990 menjadi 459,2 ribu metrik ton pada 1999.Jadi, produksi kapas di dalam negeri jelas harus bisa ditingkatkan hingga mencapai 30 persen. Untuk itu, perlu dilakukan perluasan lahan hingga minimal sekitar 500 ribu hektar. Dengan demikian, Indonesia bisa mencapai swasembada kapas. Selebihnya, produk tekstil nasional bisa diharapkan lebih kompetitif.Pemerintah sendiri, setelah melihat hasil perdana pelepasan terbatas kapas transgenik di tujuh kabupaten di Sulsel -- notabene, berdasarkan pantauan yang dilakukan sebuah tim khusus, tak menimbulkan dampak negatif terhadap lingkungan -- sudah memastikan bahwa areal tanaman tersebut segera diperluas dari 4,6 ribu hektar menjadi 12.000 hektar. Bahkan pemerintah juga sudah menyiratkan bahwa dalam jangka panjang tanaman tersebut akan dikembangkan hingga meliputi berbadai daerah yang cocok dan potensial.Itu bukan sekadar strategis dalam rangka mencapai swasembada kapas, melainkan juga karena tanaman transgenik -- sebagaimana tercermin dalam hasil uji-coba pertama di Sulsel -- mampu meningkatkan pendapatan petani secara signifikan. Peningkatan pendapatan ini bukan hanya dimungkinkan oleh tingkat produktivitas tanaman yang sangat mengesankan, melainkan juga karena ongkos produksi yang dikeluarkan petani dapat ditekan dalam hitungan amat meyakinkan. Pemakaian pestisida kimia, dalam konteks ini, amat sedikit. Maklum karena tanaman transgenik tahan serangan hama tanpa membunuh serangga lain. Atas dasar itu pula, bagi kalangan yang bersikap pro, tanaman transgenik sebenarnya ramah lingkungan.Di sisi lain, kualitas produk tanaman hasil rekayasa genetika ini juga jauh lebih baik. Buah pepaya Hawai, misalnya, selain tak cepat peot, juga memiliki rasa lebih manis dan harum dibanding buah pepaya liar atau alami.Begitu pula padi emas (golden rice) yang dikembangkan peneliti Swis, Ingar Potrykus: lebih pulen, wangi, serta mengandung provitamin A yang sangat bermanfaat mencegah kebutaan yang pekat membayangi penduduk miskin di negara-negara berkembang.Menyadari kelebihan-kelebihan seperti itu pula, sejumlah negara sejak jauh-jauh hari menerapkan transgenik dalam kegiatan produksi pertanian mereka. Hingga 2000, negara-negara yang telah memanfaatkan transgenik dalam kegiatan pertanian ini adalah AS, Argentina, China, Kanada, Afsel, Australia, Rumania, Meksiko, Bulgaria, Spanyol, Jerman, Prancis, serta Uruguay.Apa yang dilakukan negara-negara itu bukan lagi sekadar coba-coba seperti dalam konteks pengembangan kapas Bollgard di Indonesia sekarang ini. Mereka telah menerapkan transgenik dalam hamparan pertanian yang terbilang masif.Dalam konteks itu, secara global areal tanaman transgenik ini terus meningkat pesat. Selama periode 1996-2000 saja, menurut catatan International Service for the Acquisition of Agri-Biotech Applicational (ISAAA), areal tersebut sudah meningkat 25 kali lipat lebih dari 1,7 juta hektar menjadi 44,2 juta hektar. Tahun ini, areal tanaman transgenik di dunia ini sudah lebih luas lagi: diperkirakan menghampar sekitar 50 juta hektar.Dari total areal seluas 44,2 juta hektar itu, 33,5 juta hektar menghampar di negara-negara industri. Selebihnya di negara berkembang. Dalam konteks ini, AS merupakan negara yang paling luas menanam tanaman transgenik: sekitar 68 persen dari total areal hamparan tanaman transgenik di dunia. Sementara jenis-jenis tanaman yang mereka kembangkan meliputi jagung, kapas, dan kanola.Posisi AS ini disusul oleh Argentina (23 persen), meliputi tanaman kedelai, jagung, dan kapas. Lalu Kanada (7 persen), mencakup kedelai, jagung, dan kanola; serta Cina (1 persen), meliputi kapas. Negara-negara lain hanya sekitar 1 persen: Afsel (jagung dan kapas), Australia (kapas), Rumania (kedelai dan kentang), Meksiko (kapas), Bulgaria (jagung), Spanyol (jagung), Jerman (jagung), Prancis (jagung), serta Uruguay (kedelai).Hingga tahun lalu, tanaman transgenik yang paling dominan ditanam di berbagai belahan dunia adalah jagung, kedelai, kapas, dan kanola. Tapi di samping itu, ada lagi jenis-jenis tanaman lain yang sudah terkena sentuhan transgenik ini -- meski masih relatif kecil ditanam. Sebut saja kentang, labu, pepaya, melon, juga tomat. Masing-masing tahan virus, awet segar, serta bernilai gizi tinggi.Di AS, diperkirakan sekitar 60 persen makanan yang beredar di berbagai pasar swalayan mengandung bahan baku produk tanaman transgenik -- terutama jagung, kedelai, dan kanola. Demikian juga sayuran segar.Tapi jangan salah, pemanfaatan tanaman transgenik di AS ini sudah melewati berbagai tahap pengujian dan percobaan yang dilakukan instansi sangat kompeten dan kredibel, seperti Badan Pengawasan Obat dan Makanan AS (FDA) atau Kantor Pengawasan Lingkungan AS (EPA), di samping harus memperoleh izin Departemen Perundang-undangan AS (USDA).Dengan demikian, berbagai tanaman transgenik sudah dinyatakan aman bagi lingkungan dan kesehatan. Jika tidak, mana mungkin tanaman-tanaman transgenik di AS ini bebas dibudidayakan serta hasilnya diolah menjadi bahan pangan.
Sangat boleh jadi, selama ini kita sudah akrab mengonsumsi bahan pangan produk tanaman transgenik ini. Sebut saja tempe atau tahu. Maklum karena kedelai yang kita manfaatkan sebagai bahan baku tahu atau tempe ini banyak kita impor dari AS -- notabene memanfaatkan benih kedelai transgenik.

Tapi kenyataan itu seolah tak kita sadari. Atau mungkin kita abaikan. Dalam riuh-rendah pro-kontra tentang tanaman transgenik di Indonesia ini, kenyataan itu nyaris tak pernah menjadi sorotan. Berbagai kalangan yang bersikap antitransgenik, khususnya, lebih memokuskan perhatian pada kemungkinan kita memanfaatkan tanaman produk rekayasa genetika dalam kegiatan budidaya pertanian.Mungkin itu bisa terjadi karena sikap mereka yang kontra terhadap transgenik di Indonesia ini lebih mengikuti arus serupa yang berkembang di negara-negara maju. Tak heran jika berbagai argumentasi yang mereka ajukan pun terkesan acap tidak berpijak pada rasionalitas ilmiah sesuai hasil pengujian mereka sendiri, melainkan cenderung bersandar pada wacana kontra transgenik yang berkembang di negara-negara lain. Tak jarang argumentasi tentang sikap antitransgenik ini terkesan tendensius dan mengada-ada. Kapas transgenik, misalnya, entah atas dasar apa, sampai mereka dengungkan bisa mengakibatkan penyakit raja singa segala.Sementara itu, wacana antitransgenik di luar negeri sendiri -- notabene kerap menjadi acuan berbagai pihak yang kontra terhadap tanaman transgenik di Indonesia -- tidak selalu benar-benar obyektif menurut takaran ilmiah. Berbagai argumentasi yang mengemuka terkesan cenderung bersifat emosional ketimbang rasional-ilmiah, dan karena itu jelas lebih mencerminkan kekhawatiran yang berlebihan. Bahkan kampanye yang dilakukan lembaga sekaliber Greenpeace di AS, misalnya, menurut Ketil Haarstad -- peneliti di Norwegian Center for Soil and Enviromental Research -- lebih berbau propaganda antitransgenik ketimbang fakta bahwa tanaman hasil rekayasa genetika berbahaya bagi lingkungan maupun kesehatan.Sikap-sikap seperti itu tak pelak melahirkan fobia. Sejumlah negara di Eropa, misalnya, melarang atau membatasi penanaman ataupun impor makanan yang berasal dari tanaman transgenik. Mereka bahkan menyebut makanan tersebut sebagai frankenfood. Mereka, sekali lagi, khawatir bahwa produk transgenik berbahaya bagi lingkungan dan kesehatan. Padahal itu belum cukup terbukti. Kekhawatiran mereka lebih karena asumsi-asumsi atau bahkan fantasi. Betapa tidak! Tanaman padi emas, misalnya, sampai mereka asumsikan bakal melahirkan tanaman raksasa yang bisa merusak ekosistem.Memang, kalangan ilmuwan dan peneliti yang bersikap pro sekalipun tak bakal berani menjamin bahwa produk transgenik benar-benar aman alias tanpa risiko sama sekali. Sebagai produk ilmu pengetahuan, keamanan transgenik tidak bersipat mutlak. Sekecil apa pun, kemungkinan bahwa produk tersebut berisiko bagi kesehatan maupun lingkungan tetap harus kita perhitungkan.Begitu pula terhadap tanaman yang dikembangkan secara konvensional. Bagaimanapun, sesungguhnya, soal kemungkinan risiko terhadap kesehatan dan lingkungan itu bukan spesifik bisa ditorehkan tanaman transgenik. Tanaman yang dikembangkan secara konvensional pun bukan tidak mungkin bisa menebarkan risiko serupa.Cuma, jelas tidak proporsional dan tak cukup obyektif jika ihwal risiko itu lantas dijadikan pijakan dalam menempatkan transgenik sebagai produk berbahaya dan karena itu harus ditampik mentah-mentah hingga menafikkan berbagai manfaat yang bisa dipetik bagi kesejahteraan masyarakat. Dengan kata lain, apa yang diperlukan dalam menghadapi produk transgenik ini adalah sikap berhati-hati -- bukan mati-matian apriori. Sikap berhati-hati ini juga jangan berlebihan hingga menjadi fobia. Sikap tersebut harus berdasarkan informasi atau data yang berimbang, memadai, dan dapat dipertanggungjawabkan menurut kaidah etika, moral, juga rasionalitas ilmiah.Untuk itu, sikap kritis terhadap berbagai informasi atau data mengenai produk transgenik ini juga mutlak perlu. Dengan itu, sikap pro ataupun kontra terhadap produk tersebut tak lagi cenderung berpijak pada sekadar pernyataan orang atau kelompok di negara lain. Juga bukan karena menelan begitu saja publikasi komentar atau ulasan pihak di luar sana. Bagaimanapun, pernyataan, komentar, atau telaah mengenai produk transgenik yang begitu riuh di luar negeri ini -- entah pro ataupun kontra -- harus dikaji ulang karena belum tentu cocok ataupun relevan dengan kondisi obyektif di sini.Bahkan kita mungkin perlu menaruh curiga terhadap sikap atau keputusan yang ditunjukkan berbagai negara lain mengenai produk transgenik ini. Sikap negara-negara Eropa melarang atau membatasi ketat pemanfaatan produk tersebut, misalnya, bukan tidak mungkin memuat kepentingan perusahaan-perusahaan raksasa produsen berbagai produk pestisida kimia. Dalam konteks ini, produk transgenik memang potensial menjadi ancaman serius terhadap kedigjayaan mereka menggeluti bisnis pestisida.Begitu pula sikap negatif negara-negara Eropa terhadap tanaman padi emas, boleh jadi itu lebih mencerminkan soal selera. Bagi mereka, sosok padi emas yang tak bersih-bernas sungguh tak mengundang selera -- -- di samping bahan pangan utama mereka memang bukan beras. Padahal bagi negara berkembang, padi emas justru amat dibutuhkan guna menepis risiko kebutaan yang begitu pekat membayangi kalangan penduduk miskin akibat kekurangan provitamin A.

Jadi, sekali lagi, sikap yang harus kita tunjukkan di tengah kontroversi produk transgenik ini adalah hati-hati, kritis, plus memberi ruang kondusif bagi pengembangan dan pemanfaatan kemajuan ilmu pengetahuan. Jika kalangan pengambil kebijakan, khususnya, malah larut dalam kontroversi itu, pembangunan pertanian kita -- notabene selama ini terasa merisaukan -- niscaya tak akan menorehkan lompatan-lompatan.

Memang patut diakui bahwa selama ini kalangan pengambil kebijakan di Indonesia cenderung terpaku terhadap riuh-rendah kontroversi tentang rekayasa genetika ini. Jika pun sedikit langkah ke arah itu terlihat diayunkan, kebijakan yang digariskan terasa kedodoran karena tak efektif mendorong berbagai pihak melakukan kegiatan penelitian dan pengembangan bioteknologi modern secara kompetitif. Tak heran pula, di tingkat aplikasi kita tertinggal jauh dibanding negara-negara lain. Kita hanya bisa terpana oleh kehebatan Thailand, misalnya, yang terbukti sudah begitu jauh di muka dalam memanfaatkan hasil penelitian bioteknologi modern ini.Hebatnya pula, negara seperti Singapura saja -- notabene tak memiliki potensi di bidang pertanian -- sejak jauh-jauh hari sudah menunjukkan perhatian dan langkah-langkah nyata di bidang bioteknologi modern ini. Mereka telah membangun pusat-pusat penelitian bioteknologi yang siap menggelar jasa rekonstruksi atau sertifikasi produk-produk transgenik.Haruskah pertanian kita tetap jalan di tempat dan karena itu kian jauh tertinggal oleh negara-negara lain? Agaknya, kita bisa sepakat bahwa itu tak boleh terjadi. Pertanian kita harus segera bangkit melakukan langkah-langkah terobosan yang sangat dimungkinkan oleh bioteknologi modern. Kalangan pengambil keputusan, dalam konteks ini, dituntut mengambil sikap tegas terhadap alternatif tersebut dengan menggelar kebijakan yangprudent, kritis, serta produktif-kompetitif.
Dengan demikian, dalam era perdagangan bebas yang mulai bergulir pada 2003 dalam rangka AFTA, kita niscata tak hanya menjadi pasar produk pertanian negara-negara lain seperti sudah menggejala selama ini. Dengan keragaman hayati yang kita miliki, bagaimanapun, sesungguhnya kita justru sangat berpeluang menguasai perdagangan produk pangan dunia. Tapi, sekali lagi, peluang tersebut hanya mungkin bisa kita gapai jika kita tak cuma larut dalam pro-kontra mengenai rekayasa bioteknologi

Senin, 02 Mei 2011

PROSES FISIOLOGI DAN MORFOLOGI PERKECAMBAHAN BENIH PADI (Oryza sativa L.) HINGGA MENJADI BIBIT


A.    Klasifikasi Tanaman Padi
Padi termasuk famili Graminae, subfamili Oryzidae, dan genus Oryza. Di dunia  terdapat kurang lebih 22 jenis padi-padian (Oryza). Jenis Oryza sativa dan Oryza glaberrima adalah jenis yang dibudidayakan, sedangkan sisanya adalah jenis-jenis liar. Oryza sativa adalah jenis yang paling tersebar ke seluruh dunia (Priadi, et al., 2007; Suparyono dan Setyono, 1993). Oryza sativa berbeda dengan Oryza glaberrima karena spesies ini memiliki cabang-cabang sekunder pada malai, ligula lebih panjang, gluma dan daunnya agak kasar serta dapat tumbuh secara musiman (Manurung dan Ismunadji, 1988).
Klasifikasi ilmiah tanaman padi menurut Suparyono dan Setyono (1996 cit. Syamsiar, 2009) adalah :
Divisio                   : Angiospermae
Subdivisio             : Spermatophyta
Kelas                     : Monocotyledoneae
Ordo                      : Poales/ Graminaceae
Famili                    : Poaceae/ Graminae
Genus                    : Oryza
Species                  : Oryza sativa L.
Di Indonesia padi yang ditanam penduduk banyak sekali varietasnya, jumlahnya ditaksir lebih dari 1000. Tiap-tiap daerah dapat dikatakan memiliki varietasnya sendiri yang tentunya juga menimbulkan perbedaan terhadap umur, daya hasil, kualitas beras, serta ketahanan terhadap hama dan penyakit (Soemartono et al., 1980).
Dalam perjalanan evolusi padi, Chang (1976 cit. Manurung dan Ismunadji, 1988) menyimpulkan bahwa Oryza sativa telah mengalami perubahan-perubahan morfologis dan fisiologis selama proses pembudidayaan. Perubahan-perubahan tersebut meliputi ukuran daun yang lebih besar, lebih panjang dan lebih tebal. Jumlah daun juga menjadi lebih banyak dan laju pertumbuhan tanaman lebih cepat. Jumlah cabang-cabang sekunder  pada malai juga lebih banyak, bobot gabah lebih tinggi, laju pertumbuhan bibit lebih cepat, anakan menjadi lebih banyak dan pembentukan malai lebih sinkron dengan perkembangan anakan. Di samping itu pengisian gabah menjadi lebih lama, tetapi kemampuan untuk membentuk rizoma berkurang, dormansi lebih pendek, kurang peka terhadap panjang hari dan tanaman menjadi lebih inbred daripada cross-polinated.      

B.     Morfologi Benih Padi
Keseluruhan organ tanaman padi ditunjukkan pada Gambar 1 yang terdiri dari dua kelompok, yakni organ vegetatif dan organ generatif (reproduktif). Bagian-bagian vegetatif meliputi akar, batang, daun, sedangkan bagian generatif terdiri dari malai, bunga, buah padi (gabah) (Suparyono dan Setyono, 1993). Berdasarkan bentuk gabahnya, buah padi terbagi menjadi beberapa bentuk yaitu ramping, memanjang, sedang dan gemuk (Siregar, 1981 cit. Ginting, 2008; Vergara, 1990 (Gambar 2)).

Gambar 1. Bagian-bagian tanaman padi (Vergara, 1990) 

 Gambar 2.  Variasi morfologi benih padi (Vergara, 1990)
        
Buah padi merupakan bagian yang umum digunakan sebagai bahan tanam (benih). Buah padi adalah ovary yang telah masak, bersatu dengan lemma dan palea. Buah ini merupakan hasil penyerbukan dan pembuahan yang terdiri dari embrio (lembaga), endosperm dan bekatul (buah padi yang berwarna coklat (Anonim, 1990 cit. Ginting, 2008).
Struktur gabah ditunjukkan pada Gambar 3. Gabah terdiri dari biji yang terbungkus oleh sekam. Biji yang sehari-hari dikenal dengan nama beras pecah kulit adalah karyopsis yang terdiri dari janin (embrio) dan endosperm yang diselimuti lapisan aleuron, kemudian tegmen dan lapisan terluar disebut perikarp. Embrio terdiri atas kotiledon dan sumbu embrio (embryo axis) yang dapat tumbuh menjadi akar, dan daun saat perkecambahan berlangsung. Dalam jenis-jenis japonica, sekam terdiri dari gluma rudimenter dan sebagian dari tangkai gabah (pedicel), sedangkan pada jenis-jenis indica, sekam dibentuk oleh palea, lemma mandul dan rakhilla. Perbedaan tersebut disebabkan oleh perbedaan bagian tanaman, di mana gabah itu lepas atau rontok (disarticulation). Pada jenis-jenis japonika, gabah lepas dari malai pada bagian bawah gluma, sedangakan pada jenis-jenis indika, disarticulation letaknya diatas gluma (Damardjati, 1988)

C.    Perkecambahan Benih Padi
Tahapan pertumbuhan tanaman padi diawali dengan perkecambahan. Proses perkecambahan benih merupakan suatu rangkaian kompleks dari perubahan-perubahan morfologi, fisiologi, dan biokimia. Menurut analis benih, benih dikatakan berkecambah jika sudah dapat dilihat atribut perkecambahannya, yaitu plumula dan radikula dan keduanya tumbuh normal dalam jangka waktu tertentu sesuai dengan ketentuan ISTA. Sedangkan menurut ahli fisiologi, perkecambahan adalah proses pengaktifan kembali aktivitas pertumbuhan embryonic axis di dalam benih yang terhenti untuk kemudian membentuk bibit. Perkecambahan benih merupakan proses berubahnya benih menjadi kecambah yang diawali proses metabolisme benih dan aktivitas pertumbuhan embrio menjadi kehidupan baru. Proses perkecambahan dibedakan menjadi 2 proses yaitu :  (a) proses perkecambahan morfologis dan (b) proses perkecambahan fisiologis (Kozlowski, 1972a).

a.      Proses Perkecambahan Morfologis
Proses perkecambahan morfologis meliputi pertumbuhan embryonic axis sebagai akibat pembelahan sel yang diikuti pemanjangan dan pembesaran sel sehingga tumbuh radikula dan plumula menjadi bibit yang normal. Tanaman padi memiliki tipe perkecambahan hipogeal dimana munculnya radikula diikuti dengan pemanjangan plumula (Gambar 4.), Hipokotil tidak memanjang ke atas permukaan tanah sedangkan kotiledon berada di dalam kulit benih di bawah permukaan tanah. Kotiledon yang di sini disebut scutellum, tetap tinggal di dalam tanah. Scutellum berfungsi sebagai organ penyerap makanan dari endosperma dan menghantarkannya kepada embryonic axis yang sedang tumbuh (Kuswanto, 1996).
Sewaktu perkecambahan, yang pertama kali keluar adalah radikula. Selanjutnya pada radikel ini keluar akar-akar cabang (lateral roots), bersama-sama dengan akar primer membentuk sistem akar primer. Sistem akar primer ini biasanya hanya berfungsi untuk sementara, dan kemudian mati. Fungsi sistem akar primer ini kemudian digantikan oleh akar-akar adventif yang keluar dari nodus batang yang pertama dan beberapa nodus di atasnya. Sistem akar adventif (akar serabut) inilah yang menjamin kehidupan tanaman teresbut selanjutnya dalam hal penyerapan air dan bahan makanan dari tanah dan sebagai alat penambat pada tanah.
Berdasarkan perkembangan endosperm, maka benih dkelompokkan menjadi 2 yaitu tipe endospermik dan non endospermik. Tipe endospermik memiliki ciri bagian endosperm benih tumbuh dengan baik sebagai jaringan penyimpan cadangan makanan, sedangkan tipe non endospermik tidak tumbuh dengan baik. Benih serealia seperti padi termasuk tipe endospermik, karena sebagian besar cadangan makanan disimpan   dalam   endosperm. Cadangan  makanan  terdiri  dari  senyawa-
Hari Perkecambahan
Panjang Tajuk (mm)
4
7
8
17
12
112
15
123

Tabel 1. Pertumbuhan Tunas dalam perkecambahan Benih (Oryza sativa L. var. Fujiminori) (Murata et al., 1968)
Gambar 3. Struktur gabah berdasarkan diagram potongan longitudinal benih (Damardjati, 1988).
 


















                                                                                        










Gambar 4.  Tingkat perkecambahan benih padi (Vergara, 1990)

Gambar 5. Sumber makanan untuk pertumbuhan benih padi (Vergara, 1990)

 



senyawa dengan berat molekul (BM) besar dan tidak larut dalam air, sehingga sulit diangkut ke bagian embrio kecuali diubah menjadi monomernya (Bewley dan Black, 1983). Protein, pati dan lipid setelah dirombak oleh enzim-enzim digunakan sebagai bahan penyusun pertumbuhan di daerah titik-titik tumbuh dan sebagai bahan bakar respirasi (Sutopo, 2002 cit., Kanetro, 2009). Proses peruraian cadangan makanan tersebut dapat berlangsung secara alami melalui perkecambahan, jadi sebenarnya proses perkecambahanlah yang menyebabkan terjadinya perubahan nilai kandungan kimia dalam benih.

b.      Proses Perkecambahan Fisiologis
Proses perkecambahan fisiologis, dalam tahap ini embrio di dalam benih yang semula berada pada kondisi dorman mengalami sejumlah perubahan fisiologis yang menyebabkan ia berkembang menjadi tumbuhan muda. Tumbuhan muda ini dikenal sebagai kecambah. Kecambah adalah tumbuhan (sporofit) muda yang baru saja berkembang dari tahap embrionik di dalam benih. Tahap perkembangan ini disebut perkecambahan dan merupakan satu tahap kritis dalam kehidupan tumbuhan. Proses perkecambahan dalam hal ini melalui 3 tahap, yakni: (i) Perembesan air ke dalam benih (imbibisi), (ii) pengaktifan proses metabolisme; dan (iii) perkecambahan (Kozlowski, 1972b).

i.     Perembesan Air ke Dalam Benih (imbibisi)
Perembesan air ke dalam benih (imbibisi), merupakan proses penyerapan air yang berguna untuk melunakkan kulit benih dan menyebabkan pengembangan embrio dan endosperma. Proses perkecambahan dapat terjadi jika kulit benih permeabel terhadap air dan tersedia cukup air dengan tekanan osmosis tertentu. Dalam tahap ini, kadar air benih naik menjadi 25-35%, sehingga kadar air di dalam benih itu mencapai 50-60%, dan hal ini menyebabkan pecah atau robeknya kulit benih. Selain itu, air memberikan fasilitas untuk masuknya oksigen ke dalam benih. Dinding sel yang kering hampir tidak permeabel untuk gas, tetapi apabila dinding sel diimbibisi oleh air, maka gas akan masuk ke dalam sel secara difusi. Hal tersebut dikarenakan selain membutuhkan air, benih yang berkecambah juga memerlukan suhu sekitar 10-400C, dan oksigen.  Apabila dinding sel kulit benih dan embrio menyerap air, maka suplai oksigen meningkat kepada sel-sel hidup sehingga memungkinkan lebih aktifnya pernapasan. Sebaliknya CO2 yang dihasilkan oleh pernapasan tersebut lebih mudah mendifusi keluar (Manurung dan Ismunadji, 1988; Kozlowski, 1972b).

ii.   Pengaktifan Proses Metabolisme
Pengaktifan proses metabolisme, pada tahap ini kadar air dalam benih bertambah menjadi 30-40%. Peningkatan laju respirasi akibat imbibisi, akan mengaktifkan enzim-enzim yang terdapat di dalamnya sehingga terjadi proses perombakan cadangan makanan (katabolisme). Enzim-enzim yang teraktifasi pada proses perkecambahan ini adalah enzim hidrolitik seperti: α amylase dan β amylase yang mertombak pati menjadi gula (glukosa, fruktosa, dan sukrosa), ribonuklease yang merombak ribonukleotida endo-α-glukanase, glukan fosfatase yang merombak senyawa yang mengandung P, lipase yang merombak lemak menjadi glycerine dan asam lemak, dan protease yang merombak senyawa protein menjadi asam amino. Peruraian cadangan makanan bertujuan menjadikan senyawa-senyawa larut dalam air, sehingga dapat diangkut ke embryo axis, plumula, radikula dengan proses difusi atau osmose antar sel, untuk pertumbuhan. Perombakan cadangan makanan melibatkan dua proses yang akan terjadi yakni : (i) katabolisme  karbohidrat, melalui proses ini ATP  dan unsur hara akan dihasilkan dan diikuti pembentukan senyawa protein melalui proses anabolisme (sintesis protein), yang mana kedua proses ini terjadi secara berurutan dan pada tempat yang berbeda, digunakan untuk pembentukan sel-sel baru pada embrio, dan berfungsi untuk membentuk protoplasma dan organela sel baru, guna keperluan perkecambahan dan pertumbuhan kecambah selanjutnya, (ii) metabolisme lemak, proses ini terjadi setelah  semua   proses  imbibisi,  aktivasi  enzim,  dan  katabolisme  cadangan makanan berjalan.  Melalui proses ini lemak akan dirombak oleh enzim lipase dan enzim lainnya, yang mendorong inisiasi pertumbuhan embrio. Keseluruhan proses perombakan cadangan makanan ini akan berlangsung terus dan merupakan pendukung dari pertumbuhan kecambah sampai tanaman dewasa (Kozlowski, 1972b; Mayer dan Poljakoff-Mayber, 1978).

iii. Perkecambahan
Perkecambahan, merupakan tahapan yang terjadi pada akhir tahap pengaktifan. Tahapan ini merupakan akibat dari proses pembentukan sel-sel baru pada embrio, yang akan diikuti proses deferensiasi sel-sel, sehingga terbentuk plumula yang merupakan bakal batang dan daun, serta radikula yang merupakan bakal akar. Kedua bagian ini akan bertambah besar. Benih padi dikatakan telah berkecambah apabila radikula telah tampak keluar menembus koleorhiza diikuti oleh munculnya koleoptil yang membungkus daun, Dalam keadaan terendam, maka yang muncul lebih dahulu adalah koleoptil dan kemudian diikuti oleh koleorhiza (Manurung dan Ismunadji, 1988).
Kecambah dikatakan mantap setelah ia dapat menyerap air dan berfotosintesis (autotrof). Semula, ada masa transisi antara masih disuplai oleh cadangan makanan sampai mampu autotrof (Gambar 5.). Saat autotrof telah dicapai, maka proses perkecambahan dikatakan telah sempurna (makna agronomis). Benih yang sudah berkecambah selanjutnya disebut bibit (seedling). Daun pertama tampaknya tidak memiliki helai daun dan hanya tumbuh sampai kira-kira 2 cm. Pada permulaan tumbuh, pertumbuhan bibit tergantung pada persediaan zat makanan dalam endosperm (Manurung dan Ismunadji, 1988).
Pertumbuhan benih sangat dipengaruhi oleh suhu, cahaya, oksigen dan air. Pada suhu 22-310C, laju pertumbuhan sangat cepat. Menurut Yoshida (1981 cit. Manurung dan Ismunadji, 1988), 70% pertumbuhan benih pada minggu pertama tersebut didukung oleh persediaan bahan makanan dari endosperm. Perombakan endosperm tersebut bersifat enzimatis, yakni sebagai akibat aktivitas enzim amilase yang terdapat di lapisan aleuron. Selanjutnya peranaan suhu berkurang pada minggu kedua, namun suhu 22 0C dianggap sebagai suhu di bawah normal. Memanjangnya jaringan adalah sebagai akibat gabungan pembelahan sel dan pembesarannya. Suhu optimal untuk pembelahan sel ujung radikula adalah 250C, sedangkan untuk pembesarannya adalah 300C. Oleh karena suhu optimal unuk perpanjangan radikula secara keseluruhan adalah 300C, maka pertumbuhan radikula tersebut didominasi oleh perpanjangan sel. Benih yang dikecambahkan di tempat gelap merangsang perpanjangan mesokotil, koleoptil, daun pertama dan kedua, ruas pertama dan kedua dan akar sekunder akan keluar dari buku di atas mesokotil.

D.    Proses Metabolisme dalam Benih yang Berkecambah
Dalam proses perkecambahan, tujuan yang sebenarnya adalah pengaktifan kembali aktivitas pertumbuhan embryonic axis di dalam benih yang terhenti, melalui pengaktifan proses metabolisme, untuk kemudian membentuk bibit. Berdasarkan hal tersebut, maka proses metabolisme dalam benih selama perkecambahan perlu dibahas lebih mendalam.
Struktur benih padi, terdiri dari biji yang terbungkus oleh sekam. Biji adalah karyopsis yang terdiri dari janin (embrio) dan endosperm yang diselimuti lapisan aleuron, kemudian tegmen dan lapisan terluar disebut perikarp. Biji tersebut sehari-hari dikenal dengan nama beras pecah kulit. Pati merupakan kandungan utama beras (± 75%) yang terdapat dalam bagian endosperm berbentuk granula majemuk berukuran 3-10 µm. Protein sebagai komponen kedua dalam beras (± 8%), di dalam endosperm berbentuk butiran (bodies) dengan ukuran 1-4 µm. Sedangkan kandungan lainnya sangat sedikit meliputi lemak, serat dan abu (Damardjati, 1988). Berdasarkan hal tersebut, maka dalam sub-bab ini lebih ditekankan pada pembahasan (a) aktivitas karbohidrat dan (b) aktivitas protein.

a.   Aktivitas Karbohidrat
Studi biokimia terbaru telah menjelaskan mekanisme metabolisme karbohidrat dalam benih. Hal ini berlaku umum bahwa kerusakan amilolitik pati dapat menjelaskan metabolisme karbohidrat utama dalam jaringan endosperm tanaman (Murata et al., 1968).
 















       
Gambar 6. Perubahan berat kering total, pati, dan gula total pada endosperma benih padi (Oryza sativa L. var. Fujiminori) saat perkecambahan (Murata et al., 1968).

Gambar 7. Perubahan komponen gula individu dalam endosperma benih padi (Oryza sativa L. var. Fujiminori) saat perkecambahan (Murata et al., 1968)

 



Dalam metabolisme benih padi selama perkecambahan, penurunan pati sejajar dengan penurunan berat kering benih (Gambar 6). Permulaan terurainya polisakarida cadangan tampaknya terjadi setelah sekitar 4 hari imbibisi benih. Sebagian besar cadangan polisakarida dipecah dan ditranlokasikan pada tahap selanjutnya. Kandungan karbohidrat terlarut masih sedikit pada tahap awal, sampai sekitar 4 hari. Sejak saat itu, ada peningkatan secara bertahap karbohidrat terlarut dalam endosperma benih.
Perubahan konstituen gula individu dalam endosperm benih padi selama perkecambahan disajikan pada (Gambar 7 dan Gambar 8). Komponen utama gula terlarut dari benih adalah sukrosa, dan sangat kecil glukosa terdeteksi menurun sampai sekitar setengah dari tingkat awal pada sekitar 4 hari, setelah itu secara bertahap meningkat dan tingkat turun di tahap-tahap selanjutnya. Akan tetapi, sebagai hasil perkecambahan ada akumulasi glukosa dan fruktosa selama tahap-tahap kemudian.
Maltosa adalah oligosakarida yang muncul hanya setelah sukrosa, juga menunjukkan peningkatan bertahap dari 6 sampai 12 hari perkecambahan. Sebuah peningkatan pesat dalam jumlah glukosa terlihat dari hari ketiga hingga hari keempat, dan mencapai maksimum pada hari kedua belas. Maltooligosakarida menunjukkan pola yang mirip dengan glukosa, tetapi tingkat pembentukannya ini jauh lebih rendah daripada glukosa. Ada perbedaan antara kadar gula total dan jumlah komponen gula individu (ditandai dengan daerah gelap pada grafik). Perbedaan ini merupakan pembentukan maltooligosakarida yang mempunyai berat molekul besar.
Pola tersebut dapat berhubungan erat dengan pembentukan α-amilase pada benih padi berkecambah. Gambar 9 dan Tabel 2. menjelaskan bahwa aktivitas dari α-amilase sangat rendah pada tahap awal, sampai dengan sekitar 4 hari, dan kemudian meningkat tiba-tiba setelah lag-phase. Sehingga diketahui bahwa aktivitas enzim α-amilase sangatlah lambat. Aktivitas fosforilase (Gambar 9), juga menunjukkan puncak pada sekitar 8 sampai 10 hari.
Gambar 8. Kromatografi kolom fraksi gula terlarut perkecambahan endo- sperma benih padi (Oryza sativa L. var. Fujiminori) saat perkecambahan (Murata el al., 1968)

Gambar. 9. Aktivitas ektrak α-Amilase dan fosforilase dari endosperma benih padi (Oryza sativa L. var. Fujiminori) saat perkecambahan (Murata et al., 1968).

 













 






 







Gambar. 10. Profil Mikroskopis dalam benih padi (Oryza sativa L. var. Fujiminori). Pembesaran (X 70). E: endosperm; Ep: epithelium; Sc: scutellum; C: coleoptile; R: root (Nomura et al., 1969).

Gambar. 11. Kromatografi kolom fraksi gula terlarut scutella benih padi (Oryza sativa L. var. Fujiminori) yang berkecambah (Nomura et al., 1969).

 




Tabel 2 . Perubahan aktivitas amilase benih padi yang berkecambah.

Hari Perkecambahan
Jaringan
Aktivitas Amilase
α – amilase
(unit x 10-2)
β – amilase
(unit)
2
Scutellum
0.7
5.7
Endosperm
4.7
21
4
Scutellum
1.2
4.3
Endosperm
18
66
6
Scutellum
0.6
3.1
Endosperm
21
73

Sehingga tampak jelas bahwa kuantitas pati terurai di dalam jaringan endosperm oleh amilase jauh lebih besar daripada dengan fosforilase, hal ini menunjukkan peran yang lebih penting dari sebuah-amilase dalam pemecahan cadangan pati dalam perkecambahan benih padi. Sehingga boleh dikatakan bahwa α-amilase adalah enzim utama yang bertanggung jawab atas perubahan pola karbohidrat dalam benih setelah 4 hari perkecambahan. Lokalisasi amilase pada benih padi dapat dilihat pada Gambar 14. Peningkatan aktivitas maltase dalam jaringan endosperm dimulai setelah 4 hari perkecambahan benih (Gambar 12). Aktivitas puncak pada hari ke 10 dan menurun setelahnya.
Aktivitas enzim fumarase, catalase, pal co-A dehydrogenase, dan kandungan triacylglicerol dapat dilihat pada Gambar 13. Perlu diingat bahwa setelah penurunan awal dalam kandungan sukrosa selama perkecambahan awal, terjadi peningkatan bertahap selama perkecambahan selanjutnya. Hal tersebut menegaskan adanya pemanfaatan cepat sukrosa dalam endosperm yang merupakan karbohidrat terespirasi utama dalam embrio pada beberapa hari awal perkecambahan benih. Kemudian, resintesa sukrosa mungkin  mengikuti permintaan yang besar, sebagai gula transport untuk jaringan tumbuh (tunas dan akar) melalui scutellum tersebut. Molekul sukrosa, merupakan bagian terbesar dari gula terlarut dalam benih, biasa digunakan sebagai sumber energi respirasi pada tahap yang sangat awal dalam perkecambahan, tetapi tidak ada aktivitas sintetase sukrosa terdeteksi di jaringan endosperm selama periode perkecambahan. Resintesa  sukrosa dapat terjadi di scutellum, yang merupakan hubungan antara endosperm dan sumbu embrio.
.


















Gambar. 12. Aktivitas ektrak Maltase dalam endosperma benih padi (Oryza sativa L. var. Fujiminori) yang berkecambah (Nomura et al., 1969).

Gambar 13. Kandungan Triacyglycerol dalam jaringan scutellar benih padi (A) dan perubahan aktivitas dalam mitokondria (B) dan gloxysomal (C)  (Okamoto et al., 1982)

 






Glukosa ditranlokasikan dari endosperm ke scutellum, yang mana diubah menjadi sukrosa dan dimobilisasi menuju embrio. Gambar 10 menunjukkan aktivitas sintetase sukrosa serta kadar gula dari scutellum
bagian mikroskopis dari
penampang longitudinal median biji berkecambah (2 hari), yang jelas menunjukkan kontak dekat scutellum ke endosperm  Peran scutellum dalam pengembangan embrio graminae didasarkan pada studi anatomi tanaman tersebut. Tapi ada juga bukti eksperimental bahwa scutellum mengeluarkan enzim pencernaan yang menghidrolisis pati cadangan dalam endosperm, dan akhirnya scutellum mentranslokasikan gula larut ke bagian tumbuh embrio (Bernferld, 1955)

Tabel 3. Kandungan Gula dalam Scutellum Benih padi (Oryza sativa L. var. Fujiminori) (Nomura et al., 1969).


 


Hari Perkecambahan
Sukrosa
Maltosa
Glukosa
Fruktosa
4
8.3
0.01
0.34
0.50
6
7.9
0.19
0.16
0.25
8
7.8
0.22
0.34
0.55
11
7.4
0.08
0.47
0.51
14
4.1
0.08
0.69
1.17

Sukrosa merupakan cadangan terbesar dari gula terlarut dalam schutellum (Gambar 11.), sementara maltooligosaccharides, fruktosa dan glukosa merupakan komponen minor.  Dari berbagai data tersebut, dapat diketahui bahwa aktivitas sukrosa sintetase dalam scutellum selama perkecambahan benih padi, juga melibatkan fruktosa dan fruktosa 6-fosfat sebagai molekul glukosa. Hal ini dapat dilihat bahwa aktivitas enzime dalam scutellum sangat cepat pada tahap awal perkecambahan, atau dapat dikatakan mengalami peningkatan signifikan. Penurunan aktivitas enzim yang terjadi setelah hari kesebelas lebih mencolok dibandingkan pada periode sebelumnya (Gambar 10).
 


























Gambar. 14. Lokalisasi amylase pada benih padi yang berkecambah, yang dideteksi dengan metode TLM pati. A: penampang median sepanjang sumbu membagi benih menjadi dua; B: penampang median sepanjang sumbu sisi germinal memisahkan biji dari sisi abgerminal; C: melintang bagian melalui scutellum tersebut. (Okamoto dan Akazawa, 1979)

Demikian membandingkan aktivitas enzim dengan hasil analisis sukrosa (Tabel 3.), adalah bahwa laju sintesis sukrosa di scutellum tampaknya paralel dengan laju gerakan sukrosa dari scutellum. Kenaikan transien kandungan sukrosa dalam endosperm setelah sekitar 4 hari perkecambahan (Gambar 7.), mungkin karena back flow sukrosa dari jaringan embrio menuju endosperm.
Edelman et al. (1959) melaporkan bahwa susunan enzim yang diperlukan untuk sintesis sukrosa dari glukosa, yaitu, heksokinase, phosphoglucoisomerase, fosfoglukomutase, UDP-glukosa pyrophosphoryl-ase, sukrosa sintetase dan UDP-ATP-kinase. Hal ini memperkuat pendapat bahwa glukosa yang berasal dari endosperm diresintesa menjadi sukrosa, oleh aktivitas amilolitik dan dimobilisasi ke scutellum. Kemudian, kemudian diangkut ke sumbu embrio, yaitu calon tunas dan calon akar, untuk tujuan metabolik lebih lanjut.

b.   Aktivitas Protein
Perubahan keseluruhan komposisi dalam benih padi selama perkecambahan diilustrasikan pada Tabel 4. Terlihat bahwa kehilangan pati diamati bersama dengan meningkatnya kadar gula bebas, N amino terlarut dan protein terlarut dan penurunan RNA. Hilangnya berat kering secara signifikan dimulai setelah hanya sekitar 4 hari, menunjukkan tingkat metabolisme awal yang lebih lambat. Fukui dan Nikuni (1956 cit., Mayer dan Poljakoff-Mayber, 1978) melaporkan bahwa penurunan kandungan pati terjadi di endosperm, diikuti akumulasinya pada akar dan tajuk. Meningkatknya berat kering lebih cepat pada tajuk daripada di akar, karena koleoptil benih padi tumbuh sebelum tajuk.
Senyawa hasil peruraian cadangan makanan, terutama digunakan untuk respirasi yang menghasilkan energi untuk pertumbuhan embrio (Bewley dan Black, 1983). Respirasi adalah proses sekresi energi dan molekul glukosa dengan oksigen yang menghasilkan karbondioksida dan air, seperti disajikan pada Gambar 15.
Tabel 4. Perubahan komposisi benih padi (mg/µg) selama perkecambahan dalam gelap (Palmiano dan Juliano, 1972 cit., Mayer dan Poljakoff-Mayber, 1978)

 



Hari Perkecambahan
Berat Kering
Pati
Gula Bebas
Protein Kotor
Amino terlarut
RNA
Protein terlarut
0
18.4
16.2
0.15
1.36
2.18
26
258
2
19.6
-
-
0.83
-
14
276
3
17.0
13.9
0.37
0.82
9.79
11
268
4
17.0
12.4
0.77
0.70
14.25
11
296
5
12.6
10.8
1.14
0.64
15.80
11
304
Gambar 15. Mekanisme Respirasi (Bettleheim, et al., 2004 cit. Kanetro, 2009)






















Respirasi terjadi pada semua sel yang aktif dengan bantuan berbagai enzim, dan diawali dengan fase glikolisis yang berlangsung dalam sitoplasma, selanjutnya diikuti oleh siklus asam sitrat/ TCA dan transport elektron yang berlangsung dalam mitokondria. Piruvat dan rantai-rantai karbon tereduksi menyediakan hydrogen bagi NAD+ (Nikotinamid Adenin Dinukleotida) membentuk NADH2 (dihidro-Nikotinamid Adenin Dinukleotida) yang digunakan pada transport electron untuk mengubah ADP (Adenin Dwifosfat) menjadi ATP (Adenosin Trifosfat). ATP merupakan senyawa berenergi tinggi dan jika ADP, maka akan melepaskan energi langsung untuk proses-proses pertumbuhan dan metabolisme (Bettleheim, et al., 2004 cit. Kanetro, 2009).
Protein benih padi merupakan salah satu cadangan makanan, sehingga akan dimobilisasi selama berlangsungnya perkecambahan. Mobilisasi protein pada benih yang berkecambah berkaitan dengan peningkatan aktivitas enzim-enzim protease yang mendegradasi  protein (Bewley dan Black, 1983).
Enzim protease diklasifikasikan menjadi enzim endopeptidase dan eksopeptidase yang terdiri atas aminopeptidase dan karboksipeptodase. Degradasi protein yang dikatalisasi oleh enzim eksopeptidase menghasilkan asam amino bebas, sedangkan endopeptidase menghasilkan rantai peptide yang lebih pendek, kemudian peptide ini didegradasi lebih lanjut oleh peptide hidrolase menjadi asam amino bebas (Bewley dan Black, 1983).
Pengamatan BM protein selama perkecambahan menunjukkan protein cadangan makanan benih dengan BM besar akan didegradasi selama perkecambahan sehingga terbentuk polipeptida dengan BM yang lebih kecil dan peptide sederhana/small peptides (Kanetro, 2009)).
Asam amino merupakan sumber karbon yang bisa dikatabolisasi untuk pembentukan energi molekul dua jalur. Jalur pertama adalah jalur pembentukan piruvat sebelum memasuki siklus TCA, dan jalur kedua tanpa pembentukan piruvat atau langsung memasuki siklus TCA sesudah memasuki deaminasi (Murray et al., 2000). Conn dan Stumph (1976) menjelaskan bahwa katabolisme asam amino sebagai sumber karbon akan menghasilkan produk akhir asam piruvat, asetil ko-A, asetoasetil ko-A dan senyawa intermediate dalam siklus TCA sesudah melalui penghilangan gugus amino/deaminasi, seperti terlihat pada Tabel 5.
Paustin (2000 cit., Kanetro, 2009) juga menjelaskan bahwa pemanfaatan asam amino sebagai sumber energi awal diawali dengan degradasi protein oleh enzim ekstraseluler yaitu protease menghasilkan peptide dan asam amino, sebelum ditansport ke dalam sel. Asam-asam amino tersebut selanjutnya dapat dikatabolisasi malalui berbagai jalur reaksi yang tergantung dari macam asam amino  sehingga menghasilkan produk akhir yang bias masuk ke dalam jalur siklus TCA menghasilkan energi, seperti terlihat pada Gambar 16. Sebelum masuk ke dalam jalur siklus TCA, asam amino melalui beberapa tahap reaksi khususnya untuk menghilangkan gugus amino, seperti dicontohkan pada Gambar 17. yang menunjukkan katabolisme pro dan arg menjadi α-ketoglutarat.
Tabel 5.  Pengelompokan asam amino berdasarkan prosuk akhir  yang diperoleh dari katabolisme berbagai asam amino untuk pembentukan energi  (Conn dan Stumphf, 1976)

 



Kelompok
Produk akhir katabolisme asam amino
Asam Piruvat
Asetil-KoA
Aseto-Asetil-KoA
α- Keto-glutarat
Suksinil-koA
Asam Fumarat
Asam Oksalo asetat
Macam asam amino yang dikatabolisasi
Ala
Leu
Phe
Glu
Met
Phe
Asp
Gly
Trp
Tyr
Pro
Val
Thyr

Thr

Lys
His
Ile


Ser

Leu
Arg



Cys

Trp