Sabtu, 11 Juni 2011

Pro-Kontra Transgenik


Kontroversi tentang benih dan produk tanaman hasil rekayasa bioteknologi (transgenik) tak kunjung reda. Pro-kontra terus berlangsung. Bahkan, seiring perkembangan transgenik yang terus melaju pasti, pro-kontra ini semakin seru. Kedua belah pihak terus bersikukuh pada teori maupun fakta dan argumentasi masing-masing. Titik temu pandangan kedua pihak, sejauh ini, sama sekali belum terlihat.Bagi pihak yang bersikap pro, transgenik adalah terobosan meyakinkan yang memungkinkan budidaya tanaman lebih efisien, murah, produktif, serta menghasilkan produk yang kualitatif jauh lebih baik. Sementara kelompok yang bersikap kontra, dengan nada yang kerap tendensius dan lebih berpijak pada asumsi ketimbang fakta, berpendirian bahwa transgenik potensial melahirkan masalah serius menyangkut keseimbangan lingkungan maupun kesehatan manusia.Di Indonesia sendiri, kontroversi tentang transgenik ini tak terkecuali berlangsung ramai. Seperti juga di tingkat internasional, perdebatan seru dan melelahkan ini belum terlihat menuju titik akhir. Boleh jadi, kontroversi ini memang tak akan pernah berakhir.Justru itu, menjadi pertanyaan menggelitik: bagaimanakah kita -- terutama kalangan pengambil kebijakan -- harus bersikap terhadap transgenik ini? Haruskah kita malah ikut larut dalam perdebatan tiada akhir? Padahal perkembangan transgenik sendiri, seolah tak hirau oleh kontroversi yang terus berlangsung, kian melaju kencang menawarkan terobosan-terobosan menakjubkan di bidang pertanian secara umum.Kenyataan itu sungguh mengusik, karena kita berhadapan dengan problem pembangunan pertanian dalam arti luas yang sungguh merisaukan. Untuk sejumlah komoditas, produksi pertanian kita bahkan belum mampu memenuhi kebutuhan di dalam negeri. Selebihnya, secara keseluruhan, daya saing produk-produk pertanian kita tampaknya belum bisa diandalkan mampu bersaing dalam era perdagangan bebas yang tak lama lagi menjelang.Jadi, sekali lagi, bagimanakah kita harus bersikap terhadap perkembangan dan manfaat transgenik yang terus disaput pro-kontra ini?Sebagai produk yang menawarkan terobosan kuantitatif maupun kualitatif di bidang pertanian dalam arti luas, transgenik memang sangat menakjubkan. Tak terkecuali bagi badan-badan dunia yang bertali-temali dengan masalah kependudukan, kesehatan, atau masalah pangan. Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) ataupun Organisasi Pangan dan Pertanian Dunia (FAO), misalnya, bahkan tegas-tegas mendukung penerapan dan pengembangan transgenik ini.Sikap itu tak sulit dipahami. Maklum, karena bagi lembaga semacam FAO, kondisi obyektif dunia di bidang pangan saat ini sungguh mengkhawatirkan. Itu terkait dengan laju pertumbuhan penduduk yang terus melaju kencang dan menuntut ketersediaan pangan.Menurut perkiraan PBB, penduduk dunia dewasa ini mencapai sekitar 6 miliar jiwa. Itu dua kali lipat dibanding kondisi 50 tahun silam. Lalu, dalam tempo setengah abad mendatang, jumlah penduduk dunia ini diperkirakan berlipat menjadi sekitar 9 miliar jiwa.Itu berarti, produksi pangan harus meningkat pula dan mesti mampu mencukup kebutuhan konsumsi. Untuk itu, jika berpijak pada teknologi konvensional, luas lahan pertanian jelas harus terus ditambah.Tapi, soalnya, lahan bagi budidaya pertanian kian hari kian terbatas. Karena desakan kebutuhan ruang bagi kepentingan pemukiman dan industri, areal baru pertanian semakin cenderung sulit dihamparkan. Bahkan areal pertanian produktif yang sudah tergelar pun tak jarang tergerogoti oleh pembangunan perumahan dan industri.Dalam situasi seperti itu, transgenik serta-merta terasa menjadi solusi. Tanaman transgenik mampu meningkatkan hasil panen berkali lipat tanpa harus menambah areal tanaman. Hasil panen tanaman kapas transgenik yang mulai dikembangkan secara terbatas di tujuh kebupaten di Sulsel, misalnya, rata-rata mencapai 1 ton hingga 1,5 ton kapas per hektar. Sementara kapas varietas lokal, Kanesia, hanya menghasilkan 700-an kilogram per hektar.Bagi Indonesia, kenyataan itu menunjukkan bahwa pengembangan kapas transgenik bisa menjadi alternatif strategis guna memacu produksi kapas dalam negeri. Ini sungguh relevan karena dalam rangka menekan impor kapas yang sangat dibutuhkan industri tekstil di dalam negeri. Impor kapas ini mencapai sekitar 98 persen kebutuhan bahan baku industri tekstil. Sementara produksi kapas di dalam negeri sendiri baru sekitar 1 persen.Kenyataan itu makin terasa riskan, karena kebutuhan industri tekstil akan bahan baku kapas ini cenderung semakin meningkat. Pada 1990, misalnya, kebutuhan tersebut baru sekitar 347 ribu metrik ton. Tapi pada 1999, angka itu naik menjadi 410,6 ribu metrik ton. Bahkan pada 1995 mencapai 484 ribu metrik ton.Di tengah kecenderungan itu, produksi kapas dalam negeri sendiri justru cenderung menurun dari 11,5 ribu metrik ton pada 1990 menjadi 4,9 ribu metrik ton 1999. Karena itu pula, impor kapas terus meningkat dari 334,3 ribu metrik ton 1990 menjadi 459,2 ribu metrik ton pada 1999.Jadi, produksi kapas di dalam negeri jelas harus bisa ditingkatkan hingga mencapai 30 persen. Untuk itu, perlu dilakukan perluasan lahan hingga minimal sekitar 500 ribu hektar. Dengan demikian, Indonesia bisa mencapai swasembada kapas. Selebihnya, produk tekstil nasional bisa diharapkan lebih kompetitif.Pemerintah sendiri, setelah melihat hasil perdana pelepasan terbatas kapas transgenik di tujuh kabupaten di Sulsel -- notabene, berdasarkan pantauan yang dilakukan sebuah tim khusus, tak menimbulkan dampak negatif terhadap lingkungan -- sudah memastikan bahwa areal tanaman tersebut segera diperluas dari 4,6 ribu hektar menjadi 12.000 hektar. Bahkan pemerintah juga sudah menyiratkan bahwa dalam jangka panjang tanaman tersebut akan dikembangkan hingga meliputi berbadai daerah yang cocok dan potensial.Itu bukan sekadar strategis dalam rangka mencapai swasembada kapas, melainkan juga karena tanaman transgenik -- sebagaimana tercermin dalam hasil uji-coba pertama di Sulsel -- mampu meningkatkan pendapatan petani secara signifikan. Peningkatan pendapatan ini bukan hanya dimungkinkan oleh tingkat produktivitas tanaman yang sangat mengesankan, melainkan juga karena ongkos produksi yang dikeluarkan petani dapat ditekan dalam hitungan amat meyakinkan. Pemakaian pestisida kimia, dalam konteks ini, amat sedikit. Maklum karena tanaman transgenik tahan serangan hama tanpa membunuh serangga lain. Atas dasar itu pula, bagi kalangan yang bersikap pro, tanaman transgenik sebenarnya ramah lingkungan.Di sisi lain, kualitas produk tanaman hasil rekayasa genetika ini juga jauh lebih baik. Buah pepaya Hawai, misalnya, selain tak cepat peot, juga memiliki rasa lebih manis dan harum dibanding buah pepaya liar atau alami.Begitu pula padi emas (golden rice) yang dikembangkan peneliti Swis, Ingar Potrykus: lebih pulen, wangi, serta mengandung provitamin A yang sangat bermanfaat mencegah kebutaan yang pekat membayangi penduduk miskin di negara-negara berkembang.Menyadari kelebihan-kelebihan seperti itu pula, sejumlah negara sejak jauh-jauh hari menerapkan transgenik dalam kegiatan produksi pertanian mereka. Hingga 2000, negara-negara yang telah memanfaatkan transgenik dalam kegiatan pertanian ini adalah AS, Argentina, China, Kanada, Afsel, Australia, Rumania, Meksiko, Bulgaria, Spanyol, Jerman, Prancis, serta Uruguay.Apa yang dilakukan negara-negara itu bukan lagi sekadar coba-coba seperti dalam konteks pengembangan kapas Bollgard di Indonesia sekarang ini. Mereka telah menerapkan transgenik dalam hamparan pertanian yang terbilang masif.Dalam konteks itu, secara global areal tanaman transgenik ini terus meningkat pesat. Selama periode 1996-2000 saja, menurut catatan International Service for the Acquisition of Agri-Biotech Applicational (ISAAA), areal tersebut sudah meningkat 25 kali lipat lebih dari 1,7 juta hektar menjadi 44,2 juta hektar. Tahun ini, areal tanaman transgenik di dunia ini sudah lebih luas lagi: diperkirakan menghampar sekitar 50 juta hektar.Dari total areal seluas 44,2 juta hektar itu, 33,5 juta hektar menghampar di negara-negara industri. Selebihnya di negara berkembang. Dalam konteks ini, AS merupakan negara yang paling luas menanam tanaman transgenik: sekitar 68 persen dari total areal hamparan tanaman transgenik di dunia. Sementara jenis-jenis tanaman yang mereka kembangkan meliputi jagung, kapas, dan kanola.Posisi AS ini disusul oleh Argentina (23 persen), meliputi tanaman kedelai, jagung, dan kapas. Lalu Kanada (7 persen), mencakup kedelai, jagung, dan kanola; serta Cina (1 persen), meliputi kapas. Negara-negara lain hanya sekitar 1 persen: Afsel (jagung dan kapas), Australia (kapas), Rumania (kedelai dan kentang), Meksiko (kapas), Bulgaria (jagung), Spanyol (jagung), Jerman (jagung), Prancis (jagung), serta Uruguay (kedelai).Hingga tahun lalu, tanaman transgenik yang paling dominan ditanam di berbagai belahan dunia adalah jagung, kedelai, kapas, dan kanola. Tapi di samping itu, ada lagi jenis-jenis tanaman lain yang sudah terkena sentuhan transgenik ini -- meski masih relatif kecil ditanam. Sebut saja kentang, labu, pepaya, melon, juga tomat. Masing-masing tahan virus, awet segar, serta bernilai gizi tinggi.Di AS, diperkirakan sekitar 60 persen makanan yang beredar di berbagai pasar swalayan mengandung bahan baku produk tanaman transgenik -- terutama jagung, kedelai, dan kanola. Demikian juga sayuran segar.Tapi jangan salah, pemanfaatan tanaman transgenik di AS ini sudah melewati berbagai tahap pengujian dan percobaan yang dilakukan instansi sangat kompeten dan kredibel, seperti Badan Pengawasan Obat dan Makanan AS (FDA) atau Kantor Pengawasan Lingkungan AS (EPA), di samping harus memperoleh izin Departemen Perundang-undangan AS (USDA).Dengan demikian, berbagai tanaman transgenik sudah dinyatakan aman bagi lingkungan dan kesehatan. Jika tidak, mana mungkin tanaman-tanaman transgenik di AS ini bebas dibudidayakan serta hasilnya diolah menjadi bahan pangan.
Sangat boleh jadi, selama ini kita sudah akrab mengonsumsi bahan pangan produk tanaman transgenik ini. Sebut saja tempe atau tahu. Maklum karena kedelai yang kita manfaatkan sebagai bahan baku tahu atau tempe ini banyak kita impor dari AS -- notabene memanfaatkan benih kedelai transgenik.

Tapi kenyataan itu seolah tak kita sadari. Atau mungkin kita abaikan. Dalam riuh-rendah pro-kontra tentang tanaman transgenik di Indonesia ini, kenyataan itu nyaris tak pernah menjadi sorotan. Berbagai kalangan yang bersikap antitransgenik, khususnya, lebih memokuskan perhatian pada kemungkinan kita memanfaatkan tanaman produk rekayasa genetika dalam kegiatan budidaya pertanian.Mungkin itu bisa terjadi karena sikap mereka yang kontra terhadap transgenik di Indonesia ini lebih mengikuti arus serupa yang berkembang di negara-negara maju. Tak heran jika berbagai argumentasi yang mereka ajukan pun terkesan acap tidak berpijak pada rasionalitas ilmiah sesuai hasil pengujian mereka sendiri, melainkan cenderung bersandar pada wacana kontra transgenik yang berkembang di negara-negara lain. Tak jarang argumentasi tentang sikap antitransgenik ini terkesan tendensius dan mengada-ada. Kapas transgenik, misalnya, entah atas dasar apa, sampai mereka dengungkan bisa mengakibatkan penyakit raja singa segala.Sementara itu, wacana antitransgenik di luar negeri sendiri -- notabene kerap menjadi acuan berbagai pihak yang kontra terhadap tanaman transgenik di Indonesia -- tidak selalu benar-benar obyektif menurut takaran ilmiah. Berbagai argumentasi yang mengemuka terkesan cenderung bersifat emosional ketimbang rasional-ilmiah, dan karena itu jelas lebih mencerminkan kekhawatiran yang berlebihan. Bahkan kampanye yang dilakukan lembaga sekaliber Greenpeace di AS, misalnya, menurut Ketil Haarstad -- peneliti di Norwegian Center for Soil and Enviromental Research -- lebih berbau propaganda antitransgenik ketimbang fakta bahwa tanaman hasil rekayasa genetika berbahaya bagi lingkungan maupun kesehatan.Sikap-sikap seperti itu tak pelak melahirkan fobia. Sejumlah negara di Eropa, misalnya, melarang atau membatasi penanaman ataupun impor makanan yang berasal dari tanaman transgenik. Mereka bahkan menyebut makanan tersebut sebagai frankenfood. Mereka, sekali lagi, khawatir bahwa produk transgenik berbahaya bagi lingkungan dan kesehatan. Padahal itu belum cukup terbukti. Kekhawatiran mereka lebih karena asumsi-asumsi atau bahkan fantasi. Betapa tidak! Tanaman padi emas, misalnya, sampai mereka asumsikan bakal melahirkan tanaman raksasa yang bisa merusak ekosistem.Memang, kalangan ilmuwan dan peneliti yang bersikap pro sekalipun tak bakal berani menjamin bahwa produk transgenik benar-benar aman alias tanpa risiko sama sekali. Sebagai produk ilmu pengetahuan, keamanan transgenik tidak bersipat mutlak. Sekecil apa pun, kemungkinan bahwa produk tersebut berisiko bagi kesehatan maupun lingkungan tetap harus kita perhitungkan.Begitu pula terhadap tanaman yang dikembangkan secara konvensional. Bagaimanapun, sesungguhnya, soal kemungkinan risiko terhadap kesehatan dan lingkungan itu bukan spesifik bisa ditorehkan tanaman transgenik. Tanaman yang dikembangkan secara konvensional pun bukan tidak mungkin bisa menebarkan risiko serupa.Cuma, jelas tidak proporsional dan tak cukup obyektif jika ihwal risiko itu lantas dijadikan pijakan dalam menempatkan transgenik sebagai produk berbahaya dan karena itu harus ditampik mentah-mentah hingga menafikkan berbagai manfaat yang bisa dipetik bagi kesejahteraan masyarakat. Dengan kata lain, apa yang diperlukan dalam menghadapi produk transgenik ini adalah sikap berhati-hati -- bukan mati-matian apriori. Sikap berhati-hati ini juga jangan berlebihan hingga menjadi fobia. Sikap tersebut harus berdasarkan informasi atau data yang berimbang, memadai, dan dapat dipertanggungjawabkan menurut kaidah etika, moral, juga rasionalitas ilmiah.Untuk itu, sikap kritis terhadap berbagai informasi atau data mengenai produk transgenik ini juga mutlak perlu. Dengan itu, sikap pro ataupun kontra terhadap produk tersebut tak lagi cenderung berpijak pada sekadar pernyataan orang atau kelompok di negara lain. Juga bukan karena menelan begitu saja publikasi komentar atau ulasan pihak di luar sana. Bagaimanapun, pernyataan, komentar, atau telaah mengenai produk transgenik yang begitu riuh di luar negeri ini -- entah pro ataupun kontra -- harus dikaji ulang karena belum tentu cocok ataupun relevan dengan kondisi obyektif di sini.Bahkan kita mungkin perlu menaruh curiga terhadap sikap atau keputusan yang ditunjukkan berbagai negara lain mengenai produk transgenik ini. Sikap negara-negara Eropa melarang atau membatasi ketat pemanfaatan produk tersebut, misalnya, bukan tidak mungkin memuat kepentingan perusahaan-perusahaan raksasa produsen berbagai produk pestisida kimia. Dalam konteks ini, produk transgenik memang potensial menjadi ancaman serius terhadap kedigjayaan mereka menggeluti bisnis pestisida.Begitu pula sikap negatif negara-negara Eropa terhadap tanaman padi emas, boleh jadi itu lebih mencerminkan soal selera. Bagi mereka, sosok padi emas yang tak bersih-bernas sungguh tak mengundang selera -- -- di samping bahan pangan utama mereka memang bukan beras. Padahal bagi negara berkembang, padi emas justru amat dibutuhkan guna menepis risiko kebutaan yang begitu pekat membayangi kalangan penduduk miskin akibat kekurangan provitamin A.

Jadi, sekali lagi, sikap yang harus kita tunjukkan di tengah kontroversi produk transgenik ini adalah hati-hati, kritis, plus memberi ruang kondusif bagi pengembangan dan pemanfaatan kemajuan ilmu pengetahuan. Jika kalangan pengambil kebijakan, khususnya, malah larut dalam kontroversi itu, pembangunan pertanian kita -- notabene selama ini terasa merisaukan -- niscaya tak akan menorehkan lompatan-lompatan.

Memang patut diakui bahwa selama ini kalangan pengambil kebijakan di Indonesia cenderung terpaku terhadap riuh-rendah kontroversi tentang rekayasa genetika ini. Jika pun sedikit langkah ke arah itu terlihat diayunkan, kebijakan yang digariskan terasa kedodoran karena tak efektif mendorong berbagai pihak melakukan kegiatan penelitian dan pengembangan bioteknologi modern secara kompetitif. Tak heran pula, di tingkat aplikasi kita tertinggal jauh dibanding negara-negara lain. Kita hanya bisa terpana oleh kehebatan Thailand, misalnya, yang terbukti sudah begitu jauh di muka dalam memanfaatkan hasil penelitian bioteknologi modern ini.Hebatnya pula, negara seperti Singapura saja -- notabene tak memiliki potensi di bidang pertanian -- sejak jauh-jauh hari sudah menunjukkan perhatian dan langkah-langkah nyata di bidang bioteknologi modern ini. Mereka telah membangun pusat-pusat penelitian bioteknologi yang siap menggelar jasa rekonstruksi atau sertifikasi produk-produk transgenik.Haruskah pertanian kita tetap jalan di tempat dan karena itu kian jauh tertinggal oleh negara-negara lain? Agaknya, kita bisa sepakat bahwa itu tak boleh terjadi. Pertanian kita harus segera bangkit melakukan langkah-langkah terobosan yang sangat dimungkinkan oleh bioteknologi modern. Kalangan pengambil keputusan, dalam konteks ini, dituntut mengambil sikap tegas terhadap alternatif tersebut dengan menggelar kebijakan yangprudent, kritis, serta produktif-kompetitif.
Dengan demikian, dalam era perdagangan bebas yang mulai bergulir pada 2003 dalam rangka AFTA, kita niscata tak hanya menjadi pasar produk pertanian negara-negara lain seperti sudah menggejala selama ini. Dengan keragaman hayati yang kita miliki, bagaimanapun, sesungguhnya kita justru sangat berpeluang menguasai perdagangan produk pangan dunia. Tapi, sekali lagi, peluang tersebut hanya mungkin bisa kita gapai jika kita tak cuma larut dalam pro-kontra mengenai rekayasa bioteknologi